Kemerdekaan adalah sebuah kata kunci perbaikan perawat

Kalau suatu saat saudara datang ke rumah sakit kami untuk study banding, dan bertemu dengan saya, pasti saya akan bertanya pada saudara, “Apa yang Saudara cari dari kami?” Lulus Akreditasi Tk Lanjut atau Kemajuan dan Perbaikan Keperawatan?
Kalau jawaban Saudara adalah ‘lulus akreditasi tk lanjut’, saya jadi ingat teman saya yang suka berkelakar begini .. “Silahkan foto copy dan bawa seluruh dokumen akreditasi dari standar I sampai VII beserta indikator-indikatornya kalau perlu ganti sampulnya, “dijamin” keperawatan rumah sakit anda lulus akreditasi, tetapi risiko tanggung sendiri lho…..”
Jadi tolong jangan salahkan kami apabila akreditasi yang dilakukan oleh Saudara tidak membawa perubahan yang signifikan untuk perbaikan  Keperawatan ,walaupun dinyatakan sudah lulus akreditasi.

Mengapa begitu? Ya memang demikian keadaannya. Karena yang kami hargai dari semua perbaikan yang kami miliki adalah ‘proses’ menuju perbaikan itu. Karena dalam proses perbaikan itu di sana ada perjuangan, pengorbanan, tetesan keringat, derai tawa bahkan cucuran air mata. Harga mahal dari proses panjang itu yang sesungguhnya tidak mudah untuk ditiru. Masalah hasil, kita serahkan semua kepada Yang Maha Kuasa.
Kalau boleh diibaratkan, Saudara seperti datang ke sebuah restoran, memesan nasi putih, cah kangkung, gurame bakar dan lalap terong. Saudara pulang dalam keadaan kenyang, tinggal bayar.
Tapi ketahuilah… bahwa saudara tidak pernah tahu apalagi punya pengalaman bahwa sesungguhnya untuk menjadi sepiring nasi, sebelumnya adalah sejumput padi yang ditanam di sebuah sawah yang subur, dirawat, disiangi, dirabuk kemudian dipanen. Setelah selesai dipanen, dijemur, ditumbuk atau masuk ke penggilingan, barulah berubah menjadi beras dan dimasak, kemudian saudara santap dalam bentuk nasi berwarna putih yang menggiurkan air liur dan kita merasa kenyang setelah memakannya.
Itu kira-kira yang saudara alami bila datang ke rumah sakit kami hanya sekedar kepingin lulus akreditasi. Masalahnya akan muncul, ketika kemudian apa yang saudara sodorkan kepada surveyor akreditasi tentang sebuah standar ternyata disalahkan. Saudara tidak punya argumentasi atau aliabi apapun mengenai prosedur dan kebijakan yang dikeluarkan oleh saudara. Ujung-ujungnya surveyor bertanya kepada saudara, “Dari mana saudara dapatkan dokumen standar seperti ini?” Kalau saudara jawab, “Dari Rumah Sakit Banyumas!!”. Siapa yang salah? Apakah kami yang memberikan contoh yang keliru, atau saudara yang tidak mau repot-repot untuk berjuang dan berkorban?
Maka saat ini, bila saudara datang ke rumah sakit kami, tinggalkan jawaban yang pertama (lulus akreditasi). tapi beralihlah pada jawaban kedua yaitu “datang untuk kemajuan dan perbaikan perawatan”. Dengan begitu Insya Allah saudara akan mendapatkan dua-duanya.
Walaupun untuk itu tidak mudah. Butuh kemerdekaan untuk mengekspresikan ide, gagasan dan konsep. Butuh juga keberanian untuk berargumentasi atas gagasan dan konsep yang kita terapkan.
Profesi perawat adalah profesi yang sedang berkembang. Ketika referensi-referensi keperawatan yang kita dapatkan kemudian kita aplikasikan dalam praktek, apakah kita yakin standar-standar dan indikator-indikator yang ada dalam akreditasi telah mengakomodasi semua perkembangan perawat? Jangan sampai kita mengaplikasikan konsep baru perawatan dalam rangka perbaikan sistem, tapi ternyata disalahkan oleh surveyor akreditasi.
Di sinilah perlunya keberanian untuk berdiskusi dengan surveyor, bukan semata-mata target lulus akreditasi, tapi justru bagaimana kita mampu menelorkan ide perbaikan untuk perawat, dan surveyor membawanya ke tingkat pusat untuk bisa didiskusikan sebagai standar akreditasi.
Contoh konkret yang bisa saya sampaikan seperti ini.
Sesungguhnya hubungan antara Standar Asuhan Keperawatan (SAK) dengan Standar Operating Prosedur (SOP) tidak bisa dipisahkan. Ketika dalam SAK pasien dengan Hipertermi terdapat rencana tindakan “mengukur tanda vital,” maka dalam SOP harus ada “prosedur mengukur tanda vital”.
Sama halnya ketika dalam SAK terdapat rencana “manajemen lingkungan” maka dalam SOP juga musti ada “prosedur manajemen lingkungan”. (tapi maaf….ini ijdihad dan pemikiran saya). Nah, hal-hal seperti ini mungkin belum tersentuh oleh perangkat asesment akreditasi.
Lebih ngeri lagi, kalau ada rumah sakit yang hanya mengganti sampul dengan tahun terbaru untuk membuat SAK dan SOP yang telah lama dibuat. SAK dan SOP yang dijadikan bahan akreditasi tahun 1998 dirubah sampulnya menjadi tahun 2003, dirubah lagi tahun 2005 karena akan akreditasi pada tahun 2006. Tapi isinya sama sekali tidak berubah.
Penggunaan NANDA-NOC-NIC dan Komputerisasi Dokumentasi Asuhan Keperawatan adalah perubahan besar dalam keperawatan. Butuh orang-orang yang merdeka dan berani untuk mengaplikasikan konsep itu. Karena bukan tidak mungkin, surveyor akan menyalahkan karena dua-duanya tidak ada aturannya dalam akreditasi.
Pertanyaannya, apakah kita akan mundur tidak berani berargumentasi karena takut tidak lulus akreditasi, atau kita berani tidak lulus akreditasi tapi terbukti kita beberapa langkah lebih baik dan lebih maju dalam keperawatan. Bila pilihan kedua yang kita ambil, maka ada sebuah cerita yang cukup menjadi pengingat bagi kita. Ini kisah nyata di sebuah rumah sakit.
“Sudah beberapa dekade, teman saya di sebuah rumah sakit sebut saja RS A adalah orang yang memiliki kecintaan terhadap sepatu berwarna coklat. Dia tidak terlalu suka sepatu berwarna hitam. Sehingga setiap membeli sepatu, yang pertama dicari adalah warna coklat. Soal merek dan harga menjadi pertimbangan kedua. Tapi kecintaan dia terhadap warna coklat itu ternyata melanggar aturan rumah sakit tentang pakaian seragam. Di sana disebutkan, pakaian seragam perawat adalah bla bla bla dan sepatu hitam.
Tapi dia tidak peduli dengan aturan itu, “toh hanya melanggar warna,” kilahnya. “Kalau saya menggunakan sendal ketika dinas, mungkin banyak yang ribut. Tapi kalau hanya sekedar warna berbeda, ah… masa saya akan dihukum atau mendapat kondite? Kalau toh mau dicap jelek, biar aja.” Itu pikiran dia yang nakal. Dia ingin merdeka dengan kecintaan warna itu.
Satu hal yang dia inginkan dari perbuatannya adalah aturan pakaian seragam perawat direvisi. Dan apa yang terjadi setelah sekian lama dia merdeka dengan sepatu coklatnya? Ya persis lah seperti yang dia inginkan. “Pakaian dinas perawat adalah blab la bla dan sepatu hitam/coklat.”
Apa artinya kemerdekaan bagi kita sesungguhnya?
Ternyata kemerdekaan adalah kunci yang sangat efektif untuk sebuah perbaikan. Dengan ide kita, konsep kita, referensi kita, kemajuan pikiran kita dan idealisme kita yang merdeka, mungkin kita akan dianggap sebagai orang yang hidup di luar lingkaran. Kalau “mas Ong” bilang katanya “orang aneh”.
Tapi berbuatlah semampu kita untuk memperluas lingkaran itu, sehingga suatu saat nanti, tanpa terasa ternyata kita telah masuk ke dalam lingkaran, bukan karena kita melepas idealisme kita, tapi justru karena orang lain mayoritas telah menerima idealisme kita.
Dengan pendekatan, dengan aviliasi, dengan argumentasi, dengan pembelajaran, dengan menjalin hubungan, dengan komunikasi, dengan loby, dengan contoh, dengan tindakan-tindakan riil dan seterusnya untuk memperjuangkan ide kita itu, sampai ide kita diterima secara mayoritas.
Pada saat itu, keluarlah lagi dari lingkaran itu dengan ide-ide yang jenius, dan perluas lagi lingkarannya sehingga kitapun masuk lagi dalam lingkaran. Begitu terus siklusnya, sampai kita dapati bahwa profesi kita telah maju dan berkembang justru karena kita menjadi orang yang MERDEKA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOP KAMAR OPERASI

Bentuk dan Makna Logo RSUD dr. Fauziah Bireuen

ALLAH sebaik baik pemberi rezeki